LIBRARY NEWS BULLETIN
MAHASISWA DIPLOMA 3 ILMU PERPUSTAKAAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK - UNIVERSITAS GADJAH MADA


Religi

MENGKAMPUSKAN AL QUR’AN

oleh: M. Firdaus K*)

 

Di akhir dasawarsa ini bisa dilihat maraknya pergerakan mahasiswa muslim di kampus yang bertujuan untuk tidak saja mengejar IP tinggi tapi juga memahami agama dengan kemampuan inteleknya. Gejala sosiologis ini baru terasa di era 70-an dengan diawali oleh Masjid Salman ITB dan Gelanggang Shalahuddin UGM kemudian menjalar ke hampir semua kampus di Indonesia. Sebuah gebrakan yang sangat indah karena dengan begitu mahasiswa sebagai civitas akademika bisa mengintegrasikan daya nalar dengan kemampuan dzikir dan diharapkan ia tidak saja menjadi teknolog tapi juga theolog yang di kemudian hari bisa mencetak peradaban yang sejuk. Kenapa banyak orang berharap terhadap mahasiswa? Apakah karena mahasiswa adalah tulang punggung negara yang terasa secara akademis? ... memang salah satu alasan adalah seperti tersebut diatas, tapi ada satu hal yang membedakan mahasiswa dengan komunitas lain, golongan, artinya bahwa di sini mahasiswa sudah semakin bisa berpikir dewasa dengan menomorduakan etnis serta golongan dan mengutamakan Ukhuwah Islamiah.

Untuk mempermulus jalan guna terciptanya kampus yang Qur’ani, sumber daya manusia yang terlibat didalamnya hendaklah mereka yang mampu berprestasi secara akademis walau tidak menutup kemungkinan keterlibatan bagi yang mempunyai kemampuan di bidang yang lain, khususnya keorganisasian karena Al-Qur’an ditangan orang yang cerdas akan lebih "jinak" dibanding di tangan mereka yang normal biasa saja. Tantangan besar yang harus dihadapi para da’i intelek tersebut adalah semakin membuminya peradaban materialisme dan hedonisme yang menghilangkan orientasi spiritual dalam benak banyak orang, taruhlah contoh merebaknya budaya pakaian yang justru tidak menutup aurat tapi malah menonjolkannya, atau larinya ribuan generasi muda kepada alkohol dan zat adiktif sebagai pencarian solusi terhadap masalah yang dihadapi. Adalah tugas intelektual muda Islam tadi untuk berusaha sedapat mungkin mengubahnya menjadi peradaban yang sejuk dalam lingkup kampus tentunya. Bermacam cemooh dan cercaan pastilah akan mereka dapatkan dari orang-orang yang kurang atau tidak suka, akan tetapi hendaklah untuk tetap survive serta beradab dalam kebiadaban.

Tapi ingat, kalau semua itu bukan cuma tugas rekan-rekan kita yang aktif di masjid-masjid kampus, tapi juga tugas semua yang masih merasa menjadi muslim termasuk kita. Jangan kita terlalu muluk-muluk dahulu dalam ber-amar ma’ruf nahi munkar, mulailah dari diri kita sendiri. Tidak usah menjelekkan teman yang cuma mau sholat tapi enggan untuk mengkaji ilmu Allah, tapi tamparlah muka kita yang komplit sholatnya dan antusias untuk ikut kajian Islami tapi masih suka membicarakan borok teman di muka umum. Ketuklah nurani kita untuk mau melandaskan semua aktivitas pada Islam, menjadikan Islam sebagai barometer dengan nafas dan detak jantung kita, serta menjadikan Allah SWT sebagai tempat segala masalah kita bergantung.

Satu hal yang perlu dipikirkan yaitu pemberian bobot keilmuwan terhadap dakwah di kampus sehingga ia akan tahan terhadap ujian bagaimanapun ketika jaman berubah. Bila hal tersebut bisa kita laksananakan dengan hati yang ikhlas serta istiqomah (teguh pendirian) bukan sebuah kemustahilan bila kampus kita bisa menjadi kampus yang handal secara intelektual dan anggun secara moral. Dan dari kampus-kampus yang tersinari Al Qur’an lah harapan bangsa ini untuk mencetak manusia yang benar-benar merdeka lahir batin bukan manusia yang berlagak seolah-olah merdeka akan terwujud Insya Allah.

Tengoklah sajak Iqbal dibawah ini:

Bangkitlah...!

Dan pikullah amanat ini atas pundakmu

Hembuskan panas nafasmu diatas kebun ini....

Agar harum-haruman Narwastu meliputi segala

Janganlah, jangan pilih hidup bagai nyanyian ombak...

Hanya bernyanyi ketika terhembus dipantai...

Tapi...

Jadilah kamu air bah menggugah dunia dengan amalmu

 *) M. Firdaus Khalimi (Mahasiswa D3 Perpustakaan Angkatan‘96)

˜ ˜


last updated: Desember 1997, LINE Buletin

go to menu