LIBRARY NEWS BULLETIN
MAHASISWA DIPLOMA 3 ILMU PERPUSTAKAAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK - UNIVERSITAS GADJAH MADA


Artikel

PUSTAKAWAN INDONESIA : SIAPKAH HADAPI GLOBALISASI

Oleh: Indah Wijaya*

Pustakawan adalah seseorang yang melaksanakan kegiatan perpustakaan dengan jalan memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan tugas lembaga induknya berdasarkan ilmu perpustakaan, dokumentasi, informasi yang dimilikinya melalui pendidikan.

Pada program kerja Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI) periode 1992-1995 jangka panjang butir 10 berisi tentang tekadnya memperjuangkan pengakuan jabatan fungsional pustakawan di sektor swasta. Hal ini berarti tidak adanya pengakuan dari pemerintah pada orang yang bekerja di perpustakaan swasta sebagai pustakawan. Perjuangan yang dilakukan oleh IPI sebenarnya memang sewajarnya untuk diterima dan segera direalisasikan, karena akan sangat lucu jika orang yang bekerja dalam bidang yang sama dengan sebutan jabatan yang berbeda. Namun masalah ini tak lepas dari kebijakan pemerintah dalam mengambil keputusan yang sudah seharusnya diakui sejak pustakawan ada di Indonesia.

Perpustakaan sebagai inti dari setiap program pendidikan, pengajaran, penelitian (The Heart of The Educational Programs) sangat membutuhkan tangan-tangan yang profesional agar perpustakaan dapat difungsikan secara optimal. Perpustakaan mempunyai fungsi utama memberikan dan melaksanakan kegiatan perpustakaan dalam usaha pemberian layanan kepada masyarakat. Layanan kepada masyarakat itu dapat berupa :

  1. pelayanan penunjukan (reference service);
  2. pelayanan pemberian informasi (information service);
  3. pelayanan pemberian bantuan/bimbingan pada pembaca (reader advisory work).

Fungsi-fungsi di atas mungkin tidak kita temukan (kalaupun ada, kurang memuaskan) bila perpustakaan ditangani oleh manusia-manusia dengan kemampuan yang "apa adanya".

Pendidikan perpustakaan, dalam hal ini sebagai tumpuan harapan dalam perbaikan citra perpustakaan yang mahasiswanya notabene sebagai embrio pustakawan Indonesia. Pendidikan perpustakaan hanya diselenggarakan oleh beberapa institusi saja, salah satunya D-III Ilmu Perpustakaan FISIPOL di UGM ini. Diploma Tiga Ilmu Perpustakaan FISIPOL UGM dalam usianya yang masih balita ini memang masih terlihat banyak kekurangan, salah satu dosen berpendapat bahwa sudah saatnya desain mata kuliah yang ada diulas dan dibahas kembali. Perkembangan teknologi informasi dunia yang laju pesatnya seharusnya kita imbangi dengan persiapan yang berarti, sehingga tidak tertinggal dengan negara lain.

Teknologi informasi telah mendominasi perkuliahan jurusan ilmu perpustakaan di barat, sedangkan di Indonesia justru sebaliknya, didominasi oleh mata kuliah "tradisional". Perpustakaan di Indonesia sekarang ini memang mayoritas masih memakai sistem yang tradisional, mungkin alasan inilah yang menjadi landasan perancang kurikulum Jurusan Perpustakaan FISIPOL UGM. Ketika kita tengok keluar, ternyata begitu mahir dalam teknologi informasi yang memang mereka utamakan, maka kita sadar bahwa kita jauh tertinggal. Mengantisipasi antara kebutuhan tenaga pustakawan untuk perpustakaan Indonesia dan mengikuti kemajuan teknologi bisa kita ambil jalan tengah, misalkan saja menambah porsi teknologi informasi tanpa menghilangkan unsur tradisional, dan lain-lain. Pertanyaan yang timbul adalah sudah memadaikah dosen pengajar yang ada?

Kendala yang dihadapi pendidikan ilmu perpustakaan memang tidak mudah untuk dipecahkan dengan tuntas, namun setidaknya dapat meminimalkan kekurangan-kekurangan yang ada. Misalkan untuk memenuhi kebutuhan bacaan-bacaan tentang ilmu perpustakaan bagi mahasiswa, dapat diusahakan dari buku-buku dari luar negeri yang sudah diterjemahkan atau aslinya (bukankah banyak dosen yang mengenyam pendidikan luar negeri dengan muatan kuliah yang berbobot ?). Idealnya, buku-buku diciptakan oleh orang Indonesia sendiri dengan kualitas yang baik, sehingga mahasiswa yang memakainya akan lebih mudah memahami kondisi yang ada di Indonesia. Sehubungan dengan ini, kita lihat kode etik pustakawan tentang kewajiban kepada organisasi dan profesi ayat 2 menerangkan bahwa setiap pustakawan Indonesia memberikan sumbangan tenaga, pikiran dan dana kepada organisasi untuk kepentingan pengembangan ilmu dan perpustakaan di Indonesia. Perbaikan sangat mungkin terjadi, jika semua pustakawan melaksanakan kode etiknya.

Kendala Perpustakaan di Indonesia

Seorang pustakawan Indonesia seharusnya dapat mengetahui dan memahami kendala perpustakaan sebagai bidang garapannya, untuk kemudian dikaji dan dicarikan jalan keluarnya.

Pustakawan Utama Drs. H. Soekarman K, MLS (Ketua IPI periode 1992-1995) melihat ada 9 faktor yang membuat perpustakaan Indonesia menjadi lemah :

  1. Jumlah penduduk yang besar dan tersebar di banyak pulau;
  2. Budaya dan tingkat kecerdasan bangsa yang majemuk;
  3. Lemahnya kesadaran masyarakat, dan;
  4. Lemahnya kesadaran sebagian penentu kebijakan soal perpustakaan, akan arti penting informasi dan perpustakaan;
  5. Rendahnya minat baca serta kebiasaan membaca;
  6. Kemampuan keuangan pemerintah;
  7. Masih sedikit pustakawan terdidik;
  8. Masih sedikit institusi pendidikan perpustakaan;
  9. Lemahnya sumber bahan pustaka nasional.

Sedangkan Tjiptopranoto (pustakawan utama) mengungkapkan kebanyakan perpustakaan Indonesia saat ini mempunyai 2 penyakit, yaitu minus sarana dan dana. Pada tingkat ini lagi-lagi terjadi lingkaran setan.

Kapan perpustakaan bisa berperan sebagai penyegera informasi dan pengetahuan kepada masyarakatnya secara lebih terstruktur? Untaian kata pujangga Prancis Andre Maurus tentang perpustakaan dalam bukunya "Public Libraries and Their Mission" agaknya masih jauh terwujud, bahwa tak ada hal yang lebih penting bagi umat manusia daripada membawakan buku ke dalam jangkauan semua orang, buku yang dapat meluaskan pandangan, dapat membebaskan kita dari diri kita sendiri, dapat mendorong kita kepada penemuan-penemuan baru dan benar-benar dapat merubah kehidupan serta membuat seseorang menjadi anggota masyarakat yang lebih berharga.

Pustakawan Menghadapi Globalisasi

Pada era globalisasi yang ditandai dengan keterbukaan dan kemajuan teknologi, pustakawan harus dapat mengambil peran penting di dalamnya. Perpustakaan sebagai "bidang garap" pustakawan tidak lagi hanya berisi koleksi-koleksi yang "tradisional" saja.

Bagaimana pustakawan Indonesia mengantisipasinya? Doddy Yudhistira dari ICMI mengusulkan agar dalam kabinet mendatang perlu dipikirkan adanya kemungkinan diadakannya menteri negara pengembangan perbukuan dan perpustakaan nasional, dengan adanya kementerian tersebut maka persoalan perbukuan dan perpustakaan nasional akan lebih ditangani secara terpadu dan terarah. Perhatian pemerintah terhadap perpustakaan harus ditingkatkan, jika kita ingin mengejar ketinggalan.

Usaha perbaikan kualitas dapat dilakukan dengan bertahap sesuai skala prioritas. Rencana yang disusun secara sistematis dan terarah dalam usaha perbaikan perpustakaan dapat dilakukan dengan gotong royong serentak dan terprogram untuk setiap pustakawan.

 *Indah Wijaya, mahasiswa D3 Ilmu Perpustakaan FISIPOL UGM, angkatan ’96


last updated: Desember 1997, LINE Buletin

go to menu